Memerdekakan
Menurut
Ki Tyasno Sudarto, tujuan pendidikan tak lain untuk mendidik anak bangsa
menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan tenaganya.
Meminjam metafor Ki Hadjar, “Bukan manusia nunggang motor mrebes mili (naik
motor dengan menangis), tetapi mikul dawet rengeng-rengeng (memikul cendol yang
berat dengan menyanyi).” (Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, 2008)
Salah
satu tolok ukurnya ialah faktor kemandirian. Dewasa ini, para lulusan kita
cenderung mau cemanthel. Alias bergantung pada orang lain. Ketergantungan
tersebut sangat berbahaya. Kenapa? Karena kalau induk tempat bergantung ambruk,
maka orang yang bersandar tadi juga akan roboh. Dalam konteks ini, pendidikan
kewirausahaan (enterpreneurship) kian relevan. Sehingga para siswa belajar
berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
Analogi
yang digunakan Ki Hadjar Dewantara sangat menarik. Pendiri Tamansiswa tersebut
mengajak segenap sivitas akademika belajar dari cicak. Si cicak tak pernah
sekolah, bahkan tidak mengantongi gelar sarjana, akan tetapi cicak tak pernah
menganggur. “Ia” tahu di mana tempat mencari makan. Jika ada lampu terang, maka
di situ niscaya banyak nyamuk berdatangan. Merayaplah si cicak ke sana,
menangkapi nyamuk-nyamuk sebagai santapan lezatnya.
Sungguh
ironis, saat ini tatkala sebuah institusi pendidikan menggelar job fair, ribuan
lulusan universitas dan sekolah menengah antri sejak pagi hari. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja pada Februari 2012 mencapai
120,4 juta orang. Angka ini naik sebesar 3 juta orang dibanding Agustus 2011
yang notabene berjumlah 117,4 juta. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia mencapai 7,61 juta orang atau 6,32% (Februari 2012).
Solusinya
ialah dengan menggalakkan wirausaha dalam segala lini kehidupan. Usah menunggu
mendapat pekerjaan tertentu. Mari ciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kembali
menyitir petuah Ki Hadjar. Begawan pendidikan nasional tersebut memperkenalkan
filosofi opor bebek. Ibarat menggoreng dan memasak tanpa minyak. Pada sajian
opor bebek yang mematangkan masakan ialah minyak yang ada pada tubuh bebek itu
sendiri (opor bebek mateng saka awake dewe).
Sedikit
sharing pengalaman di lapangan, sejak 2005 hingga kini, penulis acapkali
mengirim tulisan ke media massa. Baik lokal, nasional maupun internasional. Tak
semuanya dimuat, beberapa mungkin langsung di di-delete (hapus) dari inbox
(kotak masuk) redaktur surat kabar. Kendati demikian, tetap ada 500-an artikel
dan resensi buku yang pernah dimuat. Dari situ, penulis mendapat honorarium.
Selain itu, kita bisa belajar menyampaikan gagasan dan mengolah kreativitas.
Pungkasnya
resep ning, ning, nung, nang ala Ki Hadjar Dewatara sungguh cespleng (mujarab).
Dengan meneng, neng alias tenteram lahir batin kita menjadi ning, wening.
Pikran menjadi jernih dan bening. Sehingga dapat membedakan mana yang tepat dan
tidak tepat. Lantas kita menjadi nung, hanung alias kuat dan penuh semangat
meraih cita-cita. Akhirnya nang, menang diamanahi wewenang untuk melayani sesama.
Salam Pendidikan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru sekolah alam Angon Yogyakarta
dan ektrakurikuler bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman)
0 komentar:
Posting Komentar